|
Ambalan SMK Al Muslim Siap Meneliti |
Seperti udara, air sungai sangat berlimpah di sungai Citarum, namun
sayang ya…keduanya bernasib sama terabaikan. Kita baru akan merasa sedih dan kehilangan
bila sesuatu itu telah hilang. Menyesal !
Semua peralatan dan perlengkapan untuk melakukan ekspedisi sungai
Hilir Citarum telah kami persiapkan. Mulai dari pengumpulan
kembali perlengkapan yang telah kami terima dari Kementerian Lingkungan Hidup saat kami melakukan training Pelatihan
Pemantauan Kesehatan Daerah Aliran Sungai ( DAS). Ada box kotak plastik yang akan kami gunakan untuk menempatkan
hewan-hewan yang kami jaring di sungai, pipet, dan sendok yang kami pergunakan
untuk memindahkan hewan-hewan tersebut, wadah cetakan batu es yang akan kami
pergunakan untuk menempatkan hewan-hewan berdasarkan bentuk dan ciri-ciri
khususnya, lup ( kaca pembesar) untuk melihat secara lebih jelas ciri-ciri
hewan tersebut, dan tak lupa jaring
serta buku Biotilik yang merupakan panduan kami untuk meneliti daerah aliran
sungai (DAS) tersebut.
|
Hilir Sungai Citarum-Cikarang Timur |
Setelah semua perlengkapan terkumpul, kami dari Tim Ambalan SMK Al
Muslim Tambun siap melakukan perjalanan menuju hilir sungai Citarum. Rombongan
kami terdiri dari lima anggota Ambalan dan tiga guru pembimbing. Tepat pukul
13.00 WIB, tim Ambalan menuju lokasi
hilir sungai Citarum. Perjalanan yang cukup melelahkan hampir dua jam kami
lalui dengan kondisi macet total akibat perbaikan jalan di Cikarang. Terik matahari yang menyengat tak melemahkan semangat kami untuk melakukan ekspedisi tersebut. Pandangan
kami ekspedisi ini harus kami lakukan sebagai bahan masukan untuk tim yang
terkait baik itu BPLHD kabupaten Bekasi, BPLHD Provinsi Jawa Barat, maupun
Kementerian Lingkungan Hidup. Hasil yang akan kami dapatkan akan kami kirimkan
ke Kementerian Lingkungan Hidup bersama hasil dari lima DAS yang ada di
Indonesia.
Tepat pukul 15.00 WIB kami sampai lokasi hilir sungai Citarum.
Meskipun melewati pasar Bojong yang sangat sempit jalannya, akhirnya kami
temukan juga area yang cocok untuk melakukan penelitian pemantauan kesehatan
daerah aliran sungai, daerah yang kami pilih adalah aliran hilir sungai Citarum
di Cikarang Timur dekat pasar Bojong dan jembatan kereta api. Di Sungai yang lebarnya hampir lima belas meter dengan
arus yang sedang serta adanya arus pertemuan sungai yang berasal dari CBL atau yang kita kenal dengan sungai Cikarang
Cibitung Laut tersebut, memberikan nuansa tersendiri bagi kami untuk segera
menelusuri sungai tersebut. Meskipun
cukup jauh kami menelusuri sungai tersebut dengan impahan lumpur yang sangat
luas, kami sampai juga di lokasi yang tepat untuk melakukan penelitian
tersebut. . Kepanasan, bau yang menyengat, dan selalu terjatuh asyik loh
Sebagai sungai terbesar di Jawa Barat mengair sepanjang lebih
kurang 270 km dari mata air gunung Wayang
di Kabupaten Bandung, sampai muaranya di Laut Jawa dengan melalui Kabupaten Bandung, Kabupaten
Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Karawang, hingga Kabupaten Bekasi dari Kedung Gede
ke hilir dan berakhir Muara Gembong sebagai muara sungai Citarum ke Laut
Jawa. Sungai Citarum yang memiliku
volume aliran tahunan rata-rata 5.5.
milyar m3 dengan luas DAS 6.600 km² memiliki tinggi curah hujan rata-rata
2.353 mm dengan 80% hujan jatuh pada periode Nopember – Mei . Menjadikan sungai
Citarum rawan banjir. Sepintas kami
mengamati suasana sungai tersebut nampak tenang dengan aktifitas warga yang
memancing, mandi, mencuci pakaian, dan buang air, sesekali kami juga
menyaksikan beberapa bocah bermain-main di sekitar aliran sungai tersebut. Warna
yang coklat sesekali terlihat buihan seperti busa terlihat di sungai tersebut.
Meskipun bau yang kurang sedap terlebih-lebih tumpukan sampah disekitar
pinggir sungai menambah tidak nyamannya kami untuk melaksanakan penelitian
tersebut.
Penelitian yang kami lakukan merupakan penelitian sederhana dengan
menggunakan metode Biotilik yang telah kami dapatkan dari Kementerian
Lingkungan Hidup bersama Ecoton pada sekitar akhir bulan April 2013. Saat itu
kami mendapatkan pelatihan bersama sekolah-sekolah lainnya yang dialiri sungai
Citarum, seperti utusan dari Bandung, Cimahi, Purwakarta, dan Bekasi. Untuk
wilayah area Bekasi, Alhamdulillah
Kementerian Lingkungan Hidup telah memilih SMK Al Muslim sebagai sekolah yang
akan meneliti hilir sungai Citarum tersebut. Hasil penelitian tersebut akan
dikumpulkan dalam bentuk reportase dan termuat di harian surat khabar sebagai
informasi untuk masyarakat terhadap kualitas air sungai tersebut. Tidak hanya
sungai Citarum saja yang diteliti ternyata daerah aliran sungai (DAS) lainnya seperti DAS
Ciliwung, DAS Kali Barntas, dan DAS Musi.
Ekspedisi hilir sungai Citarum tersebut
menggunakan metode Biotilik yaitu pemantauan lingkungan menggunakan indikator
biota. Biotilik sendiri merupakan singkatan dari Biota Tidak Bertulang
Belakang. Pemantauan kualitas sungai dengan metode biotilik ini
digunakan karena metode ini telah banyak digunakan diberbagai negara sebagai
indikator biologis untuk memantau pencemaran air dan menentukan tingkat
kesehatan ekosistem sungai, dan telah ditetapkan sebagai parameter kunci dalam
pemantauan kualitas air, selain parameter fisika kimia kualitas air. Biotilik
berasal dari kata bio dan tilik yang berarti pemanfaatan makhluk hidup (bio)
untuk menilik atau memantau lingkungan, yang merupakan sinomim dengan
biomonitoring (makroinvertebrata).
|
Mulai Meneliti |
Biotilik merupakan metode pemantauan kualitas air yang bisa
memberikan informasi lebih mendetail dalam upaya pemulihan DAS, karena dengan
biotilik kita bisa mengetahui dampak penurunan kualitas air yang mengakibatkan
berubahnya kondisi habitat sungai, perubahan kondisi habitat ini direspon oleh
biota air yang tinggal di sungai, karena setiap biota air memiliki tingkat
toleransi yang berbeda terhadap pencemaran air.
Jenis biotilik didominasi oleh jenis serangga air yang sudah
dikenal luas oleh masyarakat Indonesia seperti capung, kunang-kunang, kepik dan
anggang-anggang. Metode biotilik, biota yang menjadi indikator
digolongkan dalam dua kelompok besar yaitu EPT dan non EPT. Kelompok EPT
mewakili kelompok biota air yang sangat sensitive terhadap pencemaran sedangkan
kelompok non EPT adalah kelompok biota air yang tahan dalam keadaan sungai yang
tercemar atau DASnya tidak sehat. Biotilik merupakan alat pantau kesehatan
sungai yang mudah, murah, manfaat, massal dan mengetahui lebih awal perubahan
kualitas air, serta dapat dilakukan oleh siapa saja.Metode ini menggunakan
serangga air sebagai biota yang dapat menunjukkan kualitas air dalam kurun
waktu yang singkat. Dalam kurun waktu 1-2 jam kita sudah bisa mengetahui status
air yang sedang dipantau.
Biotilik ini merupakan cara pemantauan kualitas air yang
mudah dan murah sehingga membuka ruang bagi masyarakat untuk bisa terlibat
memantau kualitas Sungai Citarum. Dengan mengetahui kualitas air sungainya,
maka masyarakat akan dapat melakukan upaya sederhana untuk menyelamatkan Citarum
dari pencemaran dan kerusakan di daerah sekitarnya. Metode ini kini
dikembangkan dan dipraktekkan dalam pengelolaan kualiatas air di DAS Brantas
dan sejak 2009 dikenalkan dan dipraktekkan di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku
dan Papua.
|
Penggunaan Metode Biotilik |
Itulah sekelumit penelitian Biotilik yang akan kami lakukan
di Hilir Sungai Citarum tersebut. Dengan kekuatan Tim Ambalan yang
beranggotakan lima orang dan tiga pendamping dari guru, kami melakukan
penelitian untuk mengetahui kondisi air sungai tersebut. Pandangan kami tak
lepas dari box plastik yang berisi air dengan sejumlah biota kecil di dalamnya.
Hewan tak bertulang belakang itu berhasil kami kumpulkan setelah kami pisahkan
dari lumpur yang menutupinya. Sebuah kaca pembesarpun digunakan untuk melihat
jenis biota tersebut. Pada saat yang
sama Luthfi sibuk mengambil
hewan-hewan dengan jaring yang sudah
disiapkan. Gelak tawa sesekali terdengar ketika sulitnya mencari hewan yang
berada di sekitar sungai akibat lumpur yang sangat tebal, sehingga sulit untuk
melakukan penelusuran sungai tersebut.
Tim Ambalan SMK Al Muslim mengukur tingkat
pencemaran aliran hilir Sungai Citarum dengan menggunakan indikator biotilik.
Indikator pengukuran mudah saja. Berbagai biota yang meruapakan hewan tak
bertulang belakang itu dipisahkan Pengambilan
sampel dimulai dari titik 1 (paling hilir) selama 1 menit, kemudian lanjutkan ke titik 2 dan 3 ke arah hulu sungai. Kami
melakukan pengambilan sampel dengan kombinasi teknik kicking dan teknik jabbing pada bagian tepi sungai yang tidak
terlalu deras, dan tidak dalam. Kebetulan sepanjang area hilir sungai Citarum
tidak terdapat tamanan hanya bentangan endapan lumpur yang tebal. Masing-masing titik sebaiknya memiliki kondisi
substrat dasar dan jenis vegetasi yang berbeda untuk mendapatkan beragam jenis
hewan BIOTILIK.
|
Hili |
Teknik
kicking yang kami lakukan di sungai dangkal, teman-teman kami dari Tim
Ambalan masuk ke dalam sungai meletakkan
jaring di depan dengan mulut jaring menghadap arah hulu atau datangnya aliran
air, kemudian mengaduk-aduk substrat di
depan jaring selama 1 menit atau 5 meter dengan menggerakkan kaki memutar untuk
merangsang hewan yang bersembunyi di dasar sungai agar keluar dan terhanyut
masuk ke dalam jaring. Adapun Teknik jabbing
dilakukan di tepi sungai dangkal atau dalam dengan cara meletakkan jaring di
permukaan dasar sungai, kemudian bergerak maju ke arah hulu atau sumber
datangnya air sambil menyapukan jaring hingga menyentuh permukaan dasar sungai
sepanjang 5 meter, terutama di bawah tanaman air.
Setelah
melakukan kicking atau jabbing, kami mengangkat jaring ke atas
permukaan air dan mencelupkan kantong jaring beberapa kali ke dalam air hingga
air yang keluar dari kantong jaring menjadi bening dan tidak berlumpur. Lumpur
dalam sampel akan menghambat proses sortasi dan identifikasi makroinvertebrata.
Lalu kami menuangkan sampel dari kantong jaring ke dalam nampan plastik dan
siramkan sedikit air untuk membersihkan sisa sampel dalam jaring dan memudahkan
pengambilan makroinvertebrata dari substrat dalam sampel.
Kami
melakukan sortasi dengan cara mengambil hewan yang bergerak di dalam nampan
plastik dan masukkan dalam kotak bersekat sesuai dengan jenisnya. Ikan, berudu
katak dan serangga darat tidak termasuk dalam BIOTILIK, kami melepaskan kembali
temuan-temuan ke sungai jika ditemukan dalam sampel.
Jumlah hewan
minimal yang kami ambil dari sungai yang dipantau adalah 100 ekor hewan.
Setelah itu kami melakukan identifikasi
makroinvertebrata dengan menggunakan Lembar Panduan Identifikasi BIOTILIK, kami
menhitung dan mencatatnya sejumlah individu dari masing-masing jenis famili
serta skor BIOTILIK dari masing-masing jenis famili BIOTILIK dalam Tabel 2
Pemeriksaan BIOTILIK. Hasil
pengamatan didapatkan banyak jenis biota berjenis viviparidae dan Ancylidae.
Secara lengkap hasil penelitian biotilik
didapatkan data sebagai berikut:
Penilaian
Kualitas Air Sungai dengan BIOTILIK
Parameter
|
Skor
|
SKOR
Penilaian
|
4
|
3
|
2
|
1
|
Keragaman
Jenis Famili
|
>13
|
10-13
|
7-9
|
<7
|
1
|
Keragaman
Jenis EPT
|
>7
|
3-7
|
1-2
|
0
|
2
|
% Kelimpahan
EPT
|
>40%
|
>15 – 40 %
|
>0 – 15 %
|
0 %
|
1
|
Indeks
BIOTILIK
|
3,3 – 4,0
|
2,6 – 3,2
|
1,8 – 2,5
|
1,0 – 1,7
|
2
|
|
Total Skor
|
6
|
|
Skor
Rata-Rata (Total Skor / 4)
|
1.5
|
Kriteria
Kualitas Air
|
Tidak
Tercemar
|
Tercemar
Ringan
|
Tercemar
Sedang
|
Tercemar
Berat
|
TERCEMAR
BERAT
|
SKOR
Rata-rata
|
3,3 – 4,0
|
2,6 – 3,2
|
1,8 – 2,5
|
1,0 – 1,7
|
TABEL
1. PEMERIKSAAN KESEHATAN HABITAT SUNGAI
No
|
PARAMETER
|
SKOR
|
SKOR
|
3
|
2
|
1
|
1.
|
Komposisi substrat di
tepi sungai
|
Lebih dari 50% substrat terdiri dari kombinasi pasir dan batuan beragam ukuran, sesuai
untuk koloni invertebrata dan diatom;
terdapat potongan kayu yang lapuk di dalam air dengan campuran substrat batuan stabil
|
10-50% substrat terdiri dari kombinasi batu dan
batu beragam ukuran; beberapa bagian substrat terganggu, tergerus atau dipindahkan
dari sungai
|
>90% substrat didominasi oleh padas, pasir, atau lumpur; sebagian besar substrat
tergerus atau dipindahkan dari sungai, habitat untuk koloni invertebrata dan diatom sangat sedikit
|
1
|
2.
|
Substrat tepi sungai yang terpendam lumpur sedimentasi
|
<25% batuan terpendam atau tertutupi lumpur halus; batuan
dapat diangkat dengan mudah dari dasar sungai
|
25-75% substrat terpendam dalam lumpur halus; batuan harus
ditarik untuk mengangkatnya dari dasar sungai
|
lebih dari 75% substrat terpendam dalam lumpur halus; batuan
harus dicongkel untuk mengangkatnya dari dasar sungai
|
1
|
3.
|
Fluktuasi debit air sungai?
|
Di bagian hulu tidak ada bendungan atau penyudetan aliran sungai,
kalaupun ada skalanya kecil; perbedaan lebar penampang sungai
teraliri air dan ketinggian muka air sungai saat
musim hujan dan kemarau < 25%
|
perbedaan lebar penampang sungai teraliri air dan ketinggian muka air sungai saat
musim hujan dan kemarau > 25%-75
|
perbedaan lebar penampang sungai teraliri air dan ketinggian muka air sungai saat
musim hujan dan kemarau >75%, saat musim kemarau sungai mengering meninggalkan cekungan genangan
air di beberapa bagian
|
1
|
4.
|
Apakah ada perubahan aliran karena pengerukan atau pelurusan?
|
Tidak ada pelurusan atau pengerukan batu dan pasir dari dasar sungai
|
Pelurusan cukup luas, 20-50% sungai diplengseng; atau pengerukan
material dasar sungai mengganggu 10% habitat dasar sungai
|
Tebing sungai dibatasi plengsengan beton, lebih dari 50% bagian
sungai diplengseng; atau pengerukan
material dasar sungai mengganggu lebih dari 10% habitat dasar sungai
|
1
|
5.
|
Bagaimana stabilitas tebing sungai sebelah KIRI ?
|
Tebing sungai stabil; tidak ada atau terdapat
sedikit bekas erosi atau tebing longsor di tepi sungai; kurang dari
30% tebing sungai mengalami erosi
|
Kurang stabil; terdapat 30-60% bagian tebing sungai mengalami
erosi, kemungkinan terjadi erosi
tinggi pada musim hujan
|
Tidak stabil; banyak bagian tebing sungai mengalami erosi, tebing
yang terkikis terlihat pada bagian sungai yang lurus dan berkelok, bekas
gerusan membentuk cekungan pada tebing, > 60%
tebing sungai memiliki bekas erosi
|
1
|
6.
|
Bagaimana stabilitas tebing sungai sebelah KANAN ?
|
Lihat no.5
|
Lihat no.5
|
Lihat no.5
|
1
|
7.
|
Berapa lebar vegetasi sempadan sungai sebelah KIRI
|
lebar sempadan sungai >15 meter; aktivitas manusia tidak
berdampak nyata pada sempadan sungai alami
|
lebar sempadan sungai 6-15 meter; aktivitas manusia berdampak
pada sempadan sungai
|
lebar sempadan sungai < 6 meter, tidak ada atau sedikit sekali
tumbuhan alami di sempadan sungai karena tingginya aktivitas manusia
|
1
|
8.
|
Berapa lebar vegetasi sempadan sungai sebelah KANAN
|
Lihat no.7
|
Lihat no.7
|
Lihat no.7
|
1
|
9.
|
Apa saja aktivitas manusia di sekitar sungai dan berapa besar
dampaknya?
|
Sangat sedikit aktivitas di sekitar sungai dan sempadan sungai;
tidak ada atau sedikit aktivitas pertanian, penggembalaan ternak, pengambilan
vegetasi untuk pakan ternak, penambangan pasir dan batu, pembuangan limbah
cair, pembuangan sampah, aktivitas perkapalan, dll
|
Cukup banyak aktivitas manusia di sungai dan sempadan sungai;
<5% sungai dan bantaran sungai
rusak karena dampak aktivitas pertanian, peternakan, pembuangan limbah,
penambangan pasir dan batu, pembuangan sampah, perkapalan, dll
|
Sangat banyak aktivitas manusia di sungai dan sempadan sungai;
>5% sungai dan bantaran sungai
rusak karena dampak aktivitas pertanian, peternakan, pembuangan limbah,
penambangan pasir dan batu, pembuangan sampah, perkapalan, dll
|
3
|
10.
|
Apakah ada aktivitas manusia pada radius 2-10 km di bagian hulu
lokasi pengamatan?
|
Sedikit aktivitas manusia yang menimbulkan gangguan di wilayah hulu; kurang dari
5% bantaran sungai di kawasan
hulu memiliki aktivitas penambangan
pasir dan batu skala besar, aktivitas pembuangan limbah industri, permukiman,
penebangan hutan, pembuangan sampah, dll.
|
Cukup banyak aktivitas manusia yang menimbulkan gangguan di wilayah hulu; 5-20% bantaran sungai kawasan
hulu memiliki aktivitas penambangan pasir dan batu skala besar, aktivitas
pembuangan limbah industri, permukiman, penebangan hutan, pembuangan sampah,
dll.
|
Sangat banyak
aktivitas manusia yang menimbulkan gangguan di wilayah hulu; lebih dari 20% bantaran sungai kawasan
hulu memiliki aktivitas penambangan pasir dan batu skala besar, aktivitas
pembuangan limbah industri, permukiman, penebangan hutan, pembuangan sampah,
dll.
|
1
|
|
Jumlah Skor
|
12
|
|
RATA-RATA SKOR KESEHATAN HABITAT (Jumlah
Skor / 10)
|
1.2
|
Sumber :
Vincent H. Resh, 2010, Biomonitoring Methods for the Lower Mekong Basin
TABEL
2. PEMERIKSAAN BIOTILIK
No.
|
Nama Famili
|
Skor BIOTILIK
(ti)
|
Jumlah Individu
(ni)
|
ti x ni
|
Keterangan
|
EPT
|
9
|
Baetidae – B (3)
|
3
|
10
|
30
|
|
|
Subtotal EPT (n EPT)
|
10
|
30
|
|
Non EPT
|
66
|
Chironomidae –
merah
(1)
|
1
|
11
|
11
|
|
76
|
Viviparidae (2)
|
2
|
35
|
70
|
|
78
|
Lymnaeidae (2)
|
2
|
11
|
22
|
|
82
|
Thiaridae – B
(2)
|
2
|
4
|
8
|
|
69
|
Atyidae (2)
|
2
|
29
|
58
|
|
|
Subtotal Non-EPT
|
90
|
169
|
|
|
JUMLAH
|
N =
100
|
X =
169
|
|
|
Persentase
Kelimpahan EPT (n EPT / N)
|
1.69
|
|
|
|
INDEKS
BIOTILIK (X/N)
|
1.7
|
TERCEMAR BERAT
|
Hasil ini menunjukkan bahwa air sungai di Hilir Citarum
tercemar berat. Kondisi Hilir Sungai Citarum bisa menjadi modal dasar bagi
penggiat Komunitas Sungai Citarum untuklebih
intensif melakukan pemulihan Citarum.
Kondisi pencemaran Hilir Sungai Citarum dalam kategori
berat, hal ini disebabkan limbah rumah tangga dan diperparah dengan limbah
industry yang banyak terdapat di sekitar hilir sungai Citarum. Tekanan
idustri dan penduduk mengakibatkan limbah industri dan domestik dari warga kian
meningkat dan mencemari Citarum.
Ayo Selamatkan
Hilir Sungai Citarum !!!